Ini
kali ketiga saya bepergian ke luar negeri dan di Jepang ini yang terlama. Tiga bulan
saya ditugaskan di Osaka dan sudah saya jalani setengahnya. Apa yang menjadi
kekhawatiran ketika bepergian ke luar negeri, tentunya setiap orang berbeda.
Bagi saya ada dua, pertama soal ibadah dan kedua soal makanan. Di sini saya
akan membahas yang kedua saja.
Ya
soal yang kedua, gampang-gampang susah menyiasatinya. Saya hanya bisa tersenyum
teringat lelucon ibu yang berkata bahwa saya ini cuman pantang pada dua hal,
yaitu selang dan ember saja. Karena makanan apapun saya lahap. Saya pun cuek
pada label “ingredient” makanan. Hampir tak pernah saya membacanya. Hal yang
saya perhatikan hanya tanggal kadaluarsa.
Sejak
tinggal di Osaka saya menjadi lebih “aware” pada makanan yang saya konsumsi. Saya
selalu membaca apa makanan tersebut mengandung babi. Bila makan di restoran,
saya selalu bertanya untuk memastikan
apa ada unsur babi atau tidak. Kadang rekan sekerja juga berbaik hati untuk
memilihkan atau menanyakan pada pelayan untuk saya.
Saya
tidak termasuk orang yang berpaham “Makan saja, jangan lihat label
ingredientnya. Toh, jika “termakan” itu tidak disengaja.” Menurut saya itu bisa
dianggap “tidak sengaja” bila memang kita sudah berusaha mencari tahu. Masih
banyak makanan dan minuman yang lezat selain yang dilarang.
Setiap
belanja bahan makanan, saya selalu menghabiskan banyak waktu untuk membaca
setiap labelnya. Memang tidak bisa dihindari bahwa saya pun masih memakan hewan
sembelihan. Saya membatasi definisi halal pada makanan selain yang mengandung babi
saja.
Saya
jadi teringat ketika ditugaskan ke Spanyol beserta rombongan dari Jepang dan
hanya saya yang muslim. Ketua rombongan yang berkebangsaan Jepang selalu
berbaik hati memberitahukan bahwa saya tidak memakan babi pada pelayan restoran
setiap waktu makan. Dan pihak restoran dengan senang hati mengganti menu untuk
saya bila yang dihidangkan adalah makanan berbabi.
Suatu kali saya “terselamatkan” dari memakan creme soup menggiurkan dengan lelehan
keju di atasnya yang ternyata mengandung ham. Saat itu, ketua rombongan
memperingatkan saya ketika saya sudah hampir menyendok sup tersebut. Dia minta
maaf pada saya karena tidak memperingatkan sejak awal. Makanan saya pun
diganti. Coba terka diganti dengan apa makanan saya saat itu?
Bukan
ayam, seafood, atau daging sapi. Sup tadi diganti dengan terong, tepatnya
terong bakar dengan garnish tomat. Saya hanya bisa mesem-mesem sambil melahapnya. Sejak saat itu untuk menghargai
orang yang telah berbaik hati pada saya soal makanan, saya selalu berusaha
mencari tahu. Ketika sudah mencari tahu dan masih ada yang terlewat, saya
berserah pada-Nya. Hanya Dia Yang Maha Tahu.
Pulang
ke tanah air nanti, saya akan mendaftarkan “pantangan” tambahan saya pada ibu,
menjadi selang, ember, dan babi..
Osaka, 27 May 2012