27 May 2012

Selang, ember, dan ...


Ini kali ketiga saya bepergian ke luar negeri dan di Jepang ini yang terlama. Tiga bulan saya ditugaskan di Osaka dan sudah saya jalani setengahnya. Apa yang menjadi kekhawatiran ketika bepergian ke luar negeri, tentunya setiap orang berbeda. Bagi saya ada dua, pertama soal ibadah dan kedua soal makanan. Di sini saya akan membahas yang kedua saja.

Ya soal yang kedua, gampang-gampang susah menyiasatinya. Saya hanya bisa tersenyum teringat lelucon ibu yang berkata bahwa saya ini cuman pantang pada dua hal, yaitu selang dan ember saja. Karena makanan apapun saya lahap. Saya pun cuek pada label “ingredient” makanan. Hampir tak pernah saya membacanya. Hal yang saya perhatikan hanya tanggal kadaluarsa. 

Sejak tinggal di Osaka saya menjadi lebih “aware” pada makanan yang saya konsumsi. Saya selalu membaca apa makanan tersebut mengandung babi. Bila makan di restoran, saya  selalu bertanya untuk memastikan apa ada unsur babi atau tidak. Kadang rekan sekerja juga berbaik hati untuk memilihkan atau menanyakan pada pelayan untuk saya.

Saya tidak termasuk orang yang berpaham “Makan saja, jangan lihat label ingredientnya. Toh, jika “termakan” itu tidak disengaja.” Menurut saya itu bisa dianggap “tidak sengaja” bila memang kita sudah berusaha mencari tahu. Masih banyak makanan dan minuman yang lezat selain yang dilarang. 

Setiap belanja bahan makanan, saya selalu menghabiskan banyak waktu untuk membaca setiap labelnya. Memang tidak bisa dihindari bahwa saya pun masih memakan hewan sembelihan. Saya membatasi definisi halal pada makanan selain yang mengandung babi saja. 

Saya jadi teringat ketika ditugaskan ke Spanyol beserta rombongan dari Jepang dan hanya saya yang muslim. Ketua rombongan yang berkebangsaan Jepang selalu berbaik hati memberitahukan bahwa saya tidak memakan babi pada pelayan restoran setiap waktu makan. Dan pihak restoran dengan senang hati mengganti menu untuk saya bila yang dihidangkan adalah makanan berbabi.

 Suatu kali saya “terselamatkan” dari memakan creme soup menggiurkan dengan lelehan keju di atasnya yang ternyata mengandung ham. Saat itu, ketua rombongan memperingatkan saya ketika saya sudah hampir menyendok sup tersebut. Dia minta maaf pada saya karena tidak memperingatkan sejak awal. Makanan saya pun diganti. Coba terka diganti dengan apa makanan saya saat itu?

Bukan ayam, seafood, atau daging sapi. Sup tadi diganti dengan terong, tepatnya terong bakar dengan garnish tomat. Saya hanya bisa mesem-mesem sambil melahapnya. Sejak saat itu untuk menghargai orang yang telah berbaik hati pada saya soal makanan, saya selalu berusaha mencari tahu. Ketika sudah mencari tahu dan masih ada yang terlewat, saya berserah pada-Nya. Hanya Dia Yang Maha Tahu.

Pulang ke tanah air nanti, saya akan mendaftarkan “pantangan” tambahan saya pada ibu, menjadi selang, ember, dan babi..

Osaka, 27 May 2012 

18 May 2012